Senin, 16 Juli 2012

Mengapa Menjadi Dermawan itu Sungguh Sangat Mulia ?



Mengapa  Menjadi Filantropis atau Dermawan itu Sangat Mulia (Bagian 1) ?

Kita harus menyadari bahwa hidup kita ini sangat singkat, 50 tahun atau 100 tahun pun itu sungguh sangat singkat. Coba kita bertanya kepada orang-orang tua yang sudah mencapai 70 tahun, apakah hidup mereka panjang ? Sebagian besar jawaban mereka pasti “ hidup ini sungguh singkat “, dalam sekejab mata tidak terasa baru saja mereka menikah dan tau-tau sekarang sudah punya cicit. Jadi tak ada waktu dan alasan bagi kita untuk berbuat atau melakukan hal-hal yang tidak berguna apalagi merugikan orang lain.
Filantropis itu apa sih sebenarnya ? filantropis itu ternyata adalah orang atau manusia yang lebih mengedepankan membantu orang-orang yang benar-benar membutuhkan bantuan daripada berbuat hal-hal yang tidak berguna atau membuang-buang waktu.
Bukan berarti seorang filantropis membenci hal-hal yang membuang-buang waktu seperti jalan-jalan, bertamasya, bermain game, tidur berlebihan atau bermalas-malas di kamar sambil bersosial media. Tetapi kaum filantropis telah menyadari bahwa hidup dia terlalu singkat untuk tidak berbuat sesuatu yang berguna bagi kemanusiaan. Bagi kaum filantropis mereka akan bersantai ria jika tugas dan kewajiban nurani mereka sudah mereka tunaikan hari ini.
Banyak teman-teman saya yang sungguh menyukai bergaya hidup mewah dan selalu melihat ke atas alias membandingkan kemewahan teman-teman yang lain dengan apa yang dipunyai dirinya sendiri. Prinsip mereka, mereka harus hidup seenak mungkin dan kalau bisa menyamai keenakan dan kemewahan hidup teman-teman di sekitarnya. Hal ini tidak bisa kita pungkiri seringkali terjadi pada anak-anak muda di kota besar.  Sungguh sangat jarang saya melihat mereka peduli dan menelaah nasib dan kehidupan orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Lebih ironi lagi, ternyata di Indonesia, orang yang miskin jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan orang yang mampu apalagi orang kaya.
Berbicara orang yang tidak mampu atau miskin. Suatu saat, saya sempat memotret kehidupan mereka dengan kamera saya, ternyata hidup mereka tidak lebih sengsara dari orang-orang kaya di luar sana. Mereka tampak tertawa ceria, menikmati santap pagi dan malam walaupun hanya beralaskan Koran dan berlaukan kerupuk. Ternyata bagi mereka bahagia itu tidak bisa diukur dari berapa harta, kedudukan atau jabatan yang kita punya.
Kadang-kadang kita sungguh sangat terlena dengan kehidupan kita sehingga menyia-yiakan waktu kita hanya untuk mengurusi masalah pribadi yang tak akan kunjung selesai karena masalah dan urusan pribadi akan terus ada selama kita masih hidup. Banyak teman dan kenalan saya yang seumur hidup hanya sibuk mengurusi bisnisnya sampai dia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia karena capek dan stress akibat persaingan usaha. Ada juga orang yang hidupnya dihabiskan dengan mengurusi pertengkaran keluarga baik dengan istri, mertua atau keluarga besar sendiri. Apa itu esensi hidup kita yang sebenarnya ? Lahir, sekolah, remaja, pacaran, menikah, punya anak, punya karir bagus, kaya, sakit dan meninggal dunia ? Rentetan hal begitu sudah manusia alami beratus ribu kali siklus di dunia ini dan itu terus dan terus kita ulangi sampai sekarang. Bukannya kita tidak boleh berlaku hidup normal seperti itu. Tapi apakah itu dinamakan hidup normal ? Ternyata menurut penelitian itu bukan hidup yang normal. Menurut Bunda Theresa yang seumur hidupnya diabdikan kepada orang-orang miskin dan penyakitan di India, “ kita memang tidak selalu bisa melakukan hal-hal besar dalam hidup, tetapi kita harus bisa melakukan hal-hal kecil dengan kasih yang besar “. Kata-kata ini sungguh membuat saya terharu.
Ingatlah masih banyak orang yang jauh lebih menderita dari hidup kita sekarang dan benar-benar sangat membutuhkan bantuan kita. Prinsipnya, kita boleh menjadi filantropis asalkan kita sudah menyadari esensi makna dari kata filantropi dan kita harus mampu mengelola kehidupan pribadi kita sendiri dulu, dengan kata lain kita tidak boleh menelantarkan kehidupan pribadi yang menjadi kewajiban. Setelah kita bisa mengatur kehidupan pribadi kita sendiri seperti mengurusi keluarga, usaha, sekolah dan berbagai macam hal, maka kita baru boleh menjadi filantropis. Karena semua kaum filantropis adalah orang yang sukses mengurusi atau mengelola kehidupan pribadinya dengan sempurna.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar