Cerita dalam novel ini adalah saya dedikasikan khusus buat keluarga saya dan pembaca yang senang membaca novel. Kisah "Jangan Putus Asa, Kawan" ini belum pernah dipublikasikan di media apapun. Di sini anda akan menemukan banyak kisah penuh keharuan, air mata, kesedihan, percintaan, persahabatan abadi, kasih sayang dan perjuangan hidup yang saya yakini bisa menginspirasi siapa saja yang membacanya termasuk saya sendiri.
Penulis,
Penulis,
Fendie Syailawan
Jangan Putus Asa, Kawan
Ini adalah sepenggal kisah seorang pemuda yang kerap mendapat perlakuan tidak adil dari lingkungan hidupnya. Adalah Wildan, seorang pemuda tuna netra 25 tahun yang tinggal di sebuah desa kumuh yang penuh dengan orang-orang miskin dan papah.
Dua puluh tahun sebelum hari ini, Wildan adalah seorang anak yang sehat dan ceria karena disayangi oleh semua anggota keluarganya. Sang papa, Mahmud, yang bekerja di sebuah pabrik kertas dekat kediamannya, sang ibu, Yuliati, yang hanya mendedikasikan hidupnya untuk keluarga, dan seorang kakak, Wilmar yang juga sangat menyayangi adiknya Wildan.
Setiap pagi keluarga kecil ini selalu menyempatkan diri sarapan pagi di meja makan bundar putih rumah mereka. Keluarga Bapak Mahmud termasuk keluarga yang sederhana dan taat beribadah. Rasanya jarang sekali mereka melupakan sholat lima waktu yang diwajibkan Islam bagi semua umatnya. Mahmud sendiri adalah seorang bapak yang sangat keras mendidik anak-anaknya, bahkan kadang-kadang dia selalu berkata kasar jika anak-anaknya nakal, tapi di balik itu semua sebenarnya dia adalah seorang bapak yang sangat bijaksana dan penyayang. Ada suatu kali Wildan berbuat salah dengan memecahkan vas bunga kesayangan ibunya tanpa sengaja, seketika itu Mahmud langsung memaki dan menjewer kuping Wildan bahkan hampir memukul kepala Wildan, tapi untungnya Mahmud mengurungkan niat emosinya itu.
Setiap hari keluarga ini selalu menghabiskan waktu di ruang tamu keluarganya untuk berkelakar tentang apa saja. Banyak orang di sekitar rumahnya yang rasa-rasanya iri melihat kehormonisan keluarga ini. Tetapi di suatu hari yang naas, ketika keluarga Mahmud pergi bertamasya ke kebun binatang di luar kota , ketika itu Wildan masih berusia 5 tahun yang masih belum mengerti apa-apa tentang kehidupan. Bus yang ditumpangi Mahmud sekeluarga mengalami kecelakaan tragis.
Bus yang mereka tumpangi menabrak pembatas jalan dan mobil-mobil yang ada di depannya sehingga terbalik. Melihat dari kondisi kerusakan busnya, rasa-rasanya tidak akan ada penumpang yang akan selamat dari maut ini. Sekitar 3 jam, bus ini ditelantarkan di situ tanpa adanya bantuan medis atau P3K. Dalam keadaan hujan lebat dan kesunyian sore itu, rombongan yang ditunggu-tunggu akhirnya menampakkan diri yakni petugas medis dan kepolisian. Dalam segala rasa kepanikan, para petugas mulai menyisir satu per satu tempat kecelakaan dengan seksama, tapi tidak ditemukan penumpang yang selamat. Sudah 1 jam petugas membongkar dan mencoba menemukan seutas harapan di balik kaca-kaca bus yang berserakan dan puing-puing yang hancur.
Dengan keadaan bus yang terbalik itu, rasa-rasanya sulit bagi siapapun untuk masuk ke dalam melihat langsung keadaan korban satu-persatu secara seksama. Tetapi di antara petugas kepolisian itu terlihat ada seorang pemuda bernama Antonius yang berusia 20 tahun ke atas yang baru saja menyelesaikan pendidikan kepolisiannya. Rasa-rasanya hanya dia yang tetap semangat menggerakkan bola mata dan kakinya untuk mencari korban yang selamat. Akhirnya terdengar erangan dari seorang anak laki-laki, entah itu dari mana datangnya. Dengan penuh pengharapan, Antonius seraya berteriak kepada petugas yang lain di situ untuk membantu menemukan sumber suara tadi. Tentunya kita tahu bahwa tidak mudah menemukan orang yang tertutup oleh bangkai bus apalagi hanya dengan petunjuk sebuah erangan suara yang lemah. Antonius berusaha memanggil balik suara tadi dengan berteriak “ Halo, tadi siapa yang bersuara ?” Dan akhirnya dengan susah payah terlihat sebuah kepala anak kecil yang melongok keluar dari badan orang dewasa, ternyata itu Wildan dengan wajah yang penuh bercak darah, Wildan berusaha menggapai sebuah pegangan dan berteriak sekuat mungkin “ Tolong, tolong !!”. Singkat cerita, Akhirnya dengan bantuan semua petugas di sana , tubuh Wildan berhasil dievakuasi dari tempat kecelakaan. Wildan dalam keadaan lusuh dan menangis terseduh, masih tetap tidak percaya dari sekian puluh orang penumpang hanya dia yang selamat dan masih terngiang di benaknya saat terjadi peristawa naas itu. Mengapa hanya dia yang ditemukan selamat dan siapa tubuh orang dewasa yang melindunginya tadi. Dalam pikiran anak 5 tahun, tentulah hal itu bukan hal yang mudah untuk diterima dan dimengerti.
Setelah
ditemukan, Wildan langsung dilarikan di rumah sakit terdekat untuk mendapat pertolongan.
Banyak luka di sekujur tubuhnya yang dipenuhi bercak darah dan di perjalanan
pun, Wildan sempat tak sadarkan diri. Tapi untungnya saat tiba di rumah sakit,
keadaannya menjadi stabil. Dua minggu setelah kejadian, Wildan yang kini
sebatang kara diperbolehkan pulang oleh rumah sakit. Untungnya seluruh biaya
pengobatan rumah sakit ditanggung oleh pihak pemerintah dan asuransi bus,
walaupun begitu, Wildan tetap bingung harus pulang ke mana. Tak ada lagi
keluarga yang setiap hari menemaninya, tak ada lagi Bapak, Ibu dan Kakak yang
selalu berada di sisinya. Dengan lunglai, sambil menelusuri selasar rumah
sakit, Wildan terus tampak murung dan tak henti-hentinya meneteskan air mata.
Dia sendiri bingung harus pergi kemana. Tiba-tiba ada seorang nenek tua datang
menghampiri dan memanggilnya “ Wildan, Wildan !!” Langsung dipeluknya dengan
erat Wildan seraya berkata “ Saya nenek kamu Wil.”
Tentunya dalam
kebingungan, Wildan sempat bertanya dalam hati “Bukannya nenek saya sudah
meninggal dunia?” Tanpa sempat bertanya panjang lebar, nenek Wildan yang
bernama Suriati itu langsung mengajak Wildan tinggal di rumahnya di dekat pinggiran
rel kereta api. Sesampai di rumah, Suriati langsung menceritakan bahwa dia
adalah nenek dari Ibunya yang telah lama ditinggalkan karena pertengkaran hebat
jauh hari sebelum Mahmud dan Yuliati menikah. Seketika itu dengan mata yang
memerah Wildan bertanya kepada sang nenek “ Mana bapak, mana Ibu ?” Suriati
juga cuma bisa menatap Wildan sambil berlinang air mata seraya berkata “
Wildan, Ibu kamu sedang tidak ada di rumah.” Suriati pun tidak menjelaskan
lebih lama karena dia tahu cucu kesayangannya ini masih anak kecil yang belum
mengerti apa-apa.
Hari-hari Wildan
yang dulu dipenuhi dengan canda tawa dan keceriaan langsung berubah drastis
dikarenakan harus hidup di rumah yang kumuh di samping rel kereta api yang
sebenarnya tidak layak untuk dihuni. Setiap pagi dia harus mendengarkan suara
bising kereta api yang memekakkan telinga, begitu pula siang hari, dia harus
menemani neneknya berjualan kue di pasar dekat rumahnya. Saat malam hari,
serangan gelap gulita akan menjadi sesuatu hal yang menakutkan bagi semua anak
kecil termasuk Wildan.
Saat berumur 7 tahun, neneknya berusaha dengan sekuat tenaga menyekolahkan Wildan di SD Negeri di dekat rumahnya. Pihak sekolah pada awalnya tidak meloloskan Wildan menjadi murid di sekolah itu. Maklumlah dengan penampilan semrawut dan apa adanya bahkan bisa dibilang seperti gelandangan, pihak sekolah mana yang berani menerima murid seperti itu. Pertama kali menghadap pihak sekolah, Suriati dan Wildan pulang dengan tangan kosong dan raut muka sedih yang artinya Wildan tidak diterima di sekolah itu. Tapi Suriati adalah nenek yang sangat menyayangi cucu satu-satunya ini dan ingin cucunya bisa sekolah yang tinggi dan menjadi orang sukses suatu hari kelak. Setiap hari Suriati selalu termenung di depan rumahnya dan terus memutar otaknya mencari cara agar Wildan bisa diterima di sekolah itu.
Maklum saja semua anggota keluarga Wildan dan Suriati sudah tidak ada lagi, satu-satunya keluarga adalah ibunya Wildan yang sudah meninggal dunia akibat kecelakaan 2 tahun silam. Suatu hari saat Suriati berjualan kue di pasar bersama Wildan, mereka berpas-pasan dengan Pak Antonius, bapak polisi yang dulu pernah menolong Wildan dari kecelakaan maut bus dan beliaulah yang mencari tahu dan memberitakan sanak keluarga Wildan satu-satunya yakni Suriati untuk menjemput Wildan di rumah sakit tempat Wildan dirawat dulu.
Awalnya Suriati masih ragu untuk menyapa Antonius karena takut salah mengenali orang apalagi dia anggota kepolisian yang notabene ditakuti di daerah itu. Tanpa pikir panjang lagi, Suriati langsung memanggil Antonius “ Pak, pak, saya Suriati nenek Wildan, bapak masih ingat tidak ?” Seketika itu, dengan wajah bingung berusaha mengingat Suriati. “ Antonius berkata, “Oh, nek Suriati ya? “ Gimana kabarnya nek ?”. Dalam hati Suriati merasa sangat gembira sekali karena bertemu dengan dewa penolong Wildan dulu. Sekitar setengah jam, mereka ngobrol akrab tentang berbagai hal sambil mengingat masa lalu ketika terjadi kecelakaan maut itu. Tanpa ragu-ragu, Suriati langsung menceritakan permasalahan Wildan kepada Antonius.
Antonius yang sesungguhnya orang yang mempunyai rasa empati yang tinggi apalagi dia merasa Wildan mempunyai jodoh yang baik dengan dirinya sejak peristiwa kecelakaan itu. Tanpa pikir panjang, Antonius berjanji akan mengantarkan Wildan untuk menemui pihak sekolah esok hari. Maka keesokkan harinya, berangkatlah Wildan, Suriati dan Antonius ke sekolah dasar itu dengan agak penuh semangat dan penuh keyakinan diri.
Sesampainya di sana, dengan berbagai cara, Antonius berusaha meyakinkan dan menjamin bahwa Wildan layak untuk diterima di sekolah ini. Dasar pihak sekolahnya saja yang kurang mengerti dan tetap bersikeras tidak memperbolehkan Wildan bersekolah di sini. Saat mendengar keputusan sekolah yang tidak berperikemanusiaan itu, langsung saja Antonius menjadi sangat berang dan marah. Dia masih tidak percaya di zaman sekarang masih ada orang yang tidak bisa bersekolah di SD hanya karena dia miskin dan tidak punya orang tua. Saat meninggalkan ruang kepala sekolah, mata Suriati tampak memerah dan tak kuasa menahan air mata jatuh menetes di lantai sekolah.
Ketika sudah berada di depan pintu gerbang sekolah, Suriati langsung memeluk erat Wildan dan berkata “ Wil, jangan bersedih ya, nanti kita cari cara lain, mungkin belum jodoh mu untuk bersekolah di sini “. Tak pelak, tangis Suriati langsung pecah di kesunyian pagi hari itu.
Rasa-rasanya di dunia ini tak ada lagi tempat bagi mereka berdua. Dalam benak Suriati, banyak perasaan yang bercampur aduk antara marah, benci, kecewa, sedih dan tidak percaya. Dia merasa bahwa mereka adalah korban dari ketidakadilan pemerintah terhadap rakyatnya.
Berulang kali Suriati mencoba menghapus air mata dengan baju lusuhnya, tapi air mata itu pun rasanya ikut terjatuh mengikuti rintihan tangisnya. Hampir sejam cucu dan nenek itu berdiri di depan sekolah tersebut. Rasa-rasanya mereka hampir enggan untuk beranjak pulang. Tapi begitu Antonius datang menghampiri, Suriati pun langsung mau diajak pulang ke rumah.
Di jalan menuju pulang, Antonius kelihatan sangat menyimpan amarah dan kekesalannya, Suriati pun rasa-rasanya tidak berani bertanya lebih jauh kepada Antonius. Untungnya Antonius langsung mulai berbicara. “Besok saya akan menghadap Bapak Kosim di rumahnya,” Kata Antonius. Suriati pun semakin heran dengan perkataan Antonius. Dalam hati Suriati berpikir “Kira-kira kenapa ya, pak Antonius ingin ke rumah pak Kosim besok?”
Antonius langsung bilang kalau dia akan meminta bantuan pak Kosim yang merupakan orang dermawan dan terpandang di kota sekitar sekolah itu.
Saat berumur 7 tahun, neneknya berusaha dengan sekuat tenaga menyekolahkan Wildan di SD Negeri di dekat rumahnya. Pihak sekolah pada awalnya tidak meloloskan Wildan menjadi murid di sekolah itu. Maklumlah dengan penampilan semrawut dan apa adanya bahkan bisa dibilang seperti gelandangan, pihak sekolah mana yang berani menerima murid seperti itu. Pertama kali menghadap pihak sekolah, Suriati dan Wildan pulang dengan tangan kosong dan raut muka sedih yang artinya Wildan tidak diterima di sekolah itu. Tapi Suriati adalah nenek yang sangat menyayangi cucu satu-satunya ini dan ingin cucunya bisa sekolah yang tinggi dan menjadi orang sukses suatu hari kelak. Setiap hari Suriati selalu termenung di depan rumahnya dan terus memutar otaknya mencari cara agar Wildan bisa diterima di sekolah itu.
Maklum saja semua anggota keluarga Wildan dan Suriati sudah tidak ada lagi, satu-satunya keluarga adalah ibunya Wildan yang sudah meninggal dunia akibat kecelakaan 2 tahun silam. Suatu hari saat Suriati berjualan kue di pasar bersama Wildan, mereka berpas-pasan dengan Pak Antonius, bapak polisi yang dulu pernah menolong Wildan dari kecelakaan maut bus dan beliaulah yang mencari tahu dan memberitakan sanak keluarga Wildan satu-satunya yakni Suriati untuk menjemput Wildan di rumah sakit tempat Wildan dirawat dulu.
Awalnya Suriati masih ragu untuk menyapa Antonius karena takut salah mengenali orang apalagi dia anggota kepolisian yang notabene ditakuti di daerah itu. Tanpa pikir panjang lagi, Suriati langsung memanggil Antonius “ Pak, pak, saya Suriati nenek Wildan, bapak masih ingat tidak ?” Seketika itu, dengan wajah bingung berusaha mengingat Suriati. “ Antonius berkata, “Oh, nek Suriati ya? “ Gimana kabarnya nek ?”. Dalam hati Suriati merasa sangat gembira sekali karena bertemu dengan dewa penolong Wildan dulu. Sekitar setengah jam, mereka ngobrol akrab tentang berbagai hal sambil mengingat masa lalu ketika terjadi kecelakaan maut itu. Tanpa ragu-ragu, Suriati langsung menceritakan permasalahan Wildan kepada Antonius.
Antonius yang sesungguhnya orang yang mempunyai rasa empati yang tinggi apalagi dia merasa Wildan mempunyai jodoh yang baik dengan dirinya sejak peristiwa kecelakaan itu. Tanpa pikir panjang, Antonius berjanji akan mengantarkan Wildan untuk menemui pihak sekolah esok hari. Maka keesokkan harinya, berangkatlah Wildan, Suriati dan Antonius ke sekolah dasar itu dengan agak penuh semangat dan penuh keyakinan diri.
Sesampainya di sana, dengan berbagai cara, Antonius berusaha meyakinkan dan menjamin bahwa Wildan layak untuk diterima di sekolah ini. Dasar pihak sekolahnya saja yang kurang mengerti dan tetap bersikeras tidak memperbolehkan Wildan bersekolah di sini. Saat mendengar keputusan sekolah yang tidak berperikemanusiaan itu, langsung saja Antonius menjadi sangat berang dan marah. Dia masih tidak percaya di zaman sekarang masih ada orang yang tidak bisa bersekolah di SD hanya karena dia miskin dan tidak punya orang tua. Saat meninggalkan ruang kepala sekolah, mata Suriati tampak memerah dan tak kuasa menahan air mata jatuh menetes di lantai sekolah.
Ketika sudah berada di depan pintu gerbang sekolah, Suriati langsung memeluk erat Wildan dan berkata “ Wil, jangan bersedih ya, nanti kita cari cara lain, mungkin belum jodoh mu untuk bersekolah di sini “. Tak pelak, tangis Suriati langsung pecah di kesunyian pagi hari itu.
Rasa-rasanya di dunia ini tak ada lagi tempat bagi mereka berdua. Dalam benak Suriati, banyak perasaan yang bercampur aduk antara marah, benci, kecewa, sedih dan tidak percaya. Dia merasa bahwa mereka adalah korban dari ketidakadilan pemerintah terhadap rakyatnya.
Berulang kali Suriati mencoba menghapus air mata dengan baju lusuhnya, tapi air mata itu pun rasanya ikut terjatuh mengikuti rintihan tangisnya. Hampir sejam cucu dan nenek itu berdiri di depan sekolah tersebut. Rasa-rasanya mereka hampir enggan untuk beranjak pulang. Tapi begitu Antonius datang menghampiri, Suriati pun langsung mau diajak pulang ke rumah.
Di jalan menuju pulang, Antonius kelihatan sangat menyimpan amarah dan kekesalannya, Suriati pun rasa-rasanya tidak berani bertanya lebih jauh kepada Antonius. Untungnya Antonius langsung mulai berbicara. “Besok saya akan menghadap Bapak Kosim di rumahnya,” Kata Antonius. Suriati pun semakin heran dengan perkataan Antonius. Dalam hati Suriati berpikir “Kira-kira kenapa ya, pak Antonius ingin ke rumah pak Kosim besok?”
Antonius langsung bilang kalau dia akan meminta bantuan pak Kosim yang merupakan orang dermawan dan terpandang di kota sekitar sekolah itu.
Keesokkan harinya, tanpa
basa-basi, pak Kosim pun sangat ingin membantu Wildan bersekolah. Tentunya
dengan bantuan dan rekomendasi pak Kosim akhirnya bisa masuk ke sekolah negeri
favorit itu. Pihak sekolah pun tampaknya sempat malu hati menerima Wildan
kembali setelah ditolak terus- menerus bahkan ditolak dengan tidak
berperikemanusiaan hanya karena dia orang miskin.
Setelah mendengar berita
baik ini, bukan main senangnya hati Suriati, cucu kesayangannya bisa sekolah
juga walaupun baru sekolah dasar. Tak henti-hentinya Suriati meneteskan air
mata tapi kali ini bukan air mata kesedihan tapi air mata penuh kebahagiaan.
Malam itu juga setelah
mendengar berita itu, Suriati langsung Sholat dan bersyukur kepada tak
henti-hentinya kepada Allah, Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dia pun
mengajak Wildan untuk sholat bersamanya dan berkata “ Wildan, cucu ku, minggu
depan sudah bisa sekolah ya.” Nanti harus jadi orang sukses dan pintar ya.”
Wildan pun hanya bisa diam seribu bahasa sambil menatap wajah kasih neneknya.
Mungkin di dalan hati Wildan hanya bisa bersyukur dan berjuta kali bersyukur
bahwa dia masih punya nenek yang hebat seperti ini.
Tibalah saatnya Wildan
pertama kali masuk sekolah. Dengan pakaian seragam seadanya yang didapat dari
Antonius yang notabene juga merupakan pakaian bekas, Wildan tampak keliatan
berbeda di hari itu. Sepatu yang dikenakan Wildan pun tampaknya sepatu yang
lusuh yang semuanya itu merupakan hasil jerih payah Suriati dan Antonius.
Sungguh budi jasa kedua orang ini terhadap Wildan amatlah besar. Pada saat
masuk kelas, Wildan berkenalan dengan teman abadi dia yang bernama Heru.
Tampaknya dalam sekejab, mereka berdua sudah menjadi sepasang sahabat yang
sejati. Seringkali Heru mendapat perlakuan tak adil dari teman yang lain,
Wildan lah yang slalu membantu Heru dan begitu pula sebaliknya. Di saat mereka
tampak akrab, di sinilah dimulainya perjuangan hidup Wildan. Di kelas mereka
itu terdapat banyak sekali anak orang berduit dan anak pejabat daerah. Rata-rata dari mereka
semuanya hanya mau berteman dengan orang sederajat dan kerap sekali mereka
mencibir orang-orang miskin seperti Wildan dan Heru. Heru sendiri merupakan
anak dari keluarga penjual sayur keliling yang ternyata tinggal tak jauh dari
rumah Suriati.
Dari seluruh kelas 1
sampai kelas 6, ada seorang anak bernama Peter yang sangat pintar dan anak
orang terkaya di desanya Wildan dan sekaligus sangat sombong. Walaupun begitu,
dia merupakan murid kesayangan para guru. Karena itulah, Peter semakin hari
semakin melonjak perilakunya. Dia sering menindas anak-anak seperti Wildan dan Heru,
bahkan sampai memukuli mereka ketika dia merasa tidak senang. Anehnya, para
guru yang sudah tahu tidak bisa berbuat banyak. Ketika Wildan dan Heru bertemu
Peter inilah, yang merupakan malapetaka dan ujian terberat dalam hidup Wildan.
Hari demi hari Wildan dan
Heru lewati bersama, kadang-kadang mereka selalu pergi dan pulang bersama saat
ke sekolah, seakan-akan tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Perawakan mereka
juga hampir-hampir mirip dengan tinggi 1 meter lebih sedikit, dengan kulit sawo matang, rambut ikal. Sehingga
kalau memandang dari kejauhan, semua orang akan sulit mengenali mana Wildan dan
mana Heru. Seringkali Heru menginap di rumahnya Wildan dan begitu pula dengan
Wildan yang sering menginap di rumah Heru. Mereka benar-benar sudah menjadi
sahabat sehidup semati hanya dalam waktu beberapa bulan berkenalan.
Bercerita tentang
permasalahan mereka dengan Peter pastilah tidak akan ada habis-habisnya. Peter
tampaknya sangat membenci tindak-tanduk Wildan apalagi Wildan terkenal dengan
kepintarannya di kelas sehingga ini semakin menyulut api kebencian di dalam
hati Peter. Heru pun juga tidak terhindar dari api amarahnya Peter. Ada suatu
hari mereka bertemu di kantin, kala itu Peter baru saja datang tapi tiba-tiba
mengusir mereka dengan kata-kata kasar yang sebenarnya tidak pantas diucapkan
oleh seorang murid sekolah dasar yang pada dasarnya memang masih kecil. Kala
itu semua makian dan kata-kata binatang begitu saja keluar dari mulut seorang
Peter sehingga seluruh pengunjung kantin pada keheranan dan merasa takut juga
dengan ulahnya Peter. Di sekolah, Peter dikenal dengan tindakan semena-menanya
karena dia mempunyai pengikut banyak yang notabene juga merupakan murid sekolah
itu sendiri dan anehnya para guru seakan tutup mata dan telinga terhadap perilaku
Peter bahkan tak jarang para guru menyayangi Peter dikarenakan Peter pintar dan
anak orang kaya. Saat di kantin inilah Wildan didorong Peter sehingga jatuh
tersungkur di bawah meja kantin, Heru pun langsung menolong Wildan. Tapi
seketika itu bogem mentah pun melayang di wajah Heru dan Wildan.
Membayangkannya pun kasihan apalagi bagi orang-orang yang menonton pertunjukkan
singkat itu secara langsung. Wildan yang geram dan tidak tahan dengan tindakan
kasar dari Peter, langsung melawan dan menyepakkan kakinya ke arah perut Peter,
Untungnya Peter yang saat itu sedang lengah, tidak menyadari arah datangnya
tendangan Wildan langsung terkena sepakan Wildan dan duduk terjatuh sambil
memegang perutnya dengan wajah kesakitan.
Gerombolannya Peter pun
tidak mau berdiam diri, mereka yang berjumlah 4 orang langsung mengeroyok
Wildan dan Heru dengan membabi buta. Heru dan Wildan pun tampak kewalahan
menghadapi gempuran bertubi-bertubi dari 4 orang itu. Sambil terbaring lemah di
lantai, Wildan dan Heru tampak sudah babak belur dipukuli oleh anak buahnya
Peter. Untunglah ada seorang bapak tua bernama Parman yang membantu melerai
perkelahian itu. Jikalau Parman tidak datang melerai, maka bisa dipastikan
tidak akan ada orang yang berani menghentikan peter dan kawan-kawan beraksi dan
pastilah Wildan dan Heru sudah sekarat bahkan bisa meninggal di tempat
kejadian. Entah apa yang terjadi kenapa semua orang tidak berani melerai atau
mencegah perbuatan anak kecil setingkat Sekolah dasar itu, padahal mereka
hanyalah segerombolan anak kecil, sedangkan di sana kebanyakan adalah orang
dewasa yang berjualan di sekolah dan para pegawai sekolah itu sendiri. Mungkin
dikarenakan Peter merupakan anak orang kaya di desa itu, maka orang-orang tidak
berani menyentuh atau berurusan dengan keluarga Peter. Sungguh sangat ironi
fakta dan kejadian ini.
Ketika melerai perkelahian
itu, Parman pun tak pelak ikut berkelahi dengan 4 orang anak kecil itu. Tapi
Parman yang ternyata seorang ahli beladiri silat sangatlah mampu mengatasi
perlawanan keempat anak kecil itu. Tampak empat orang itu juga tersungkur sama
seperti Peter. Mereka pun dalam sekejab langsung lenyap dari Kantin itu. Wildan
yang masih dalam keadaan sadar langsung bersyukur dalam hati sambil melihat kondisi
Heru. Setelah Peter dan kawan-kawan pergi dari kantin, Parman langsung memapah
Heru dan Wildan ke ruangan UKS yang tak jauh dari kantin. Di sana mereka sempat
mendapat pengobatan luka sementara. Tapi tampaknya Parman langsung berniat
membawa mereka ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan intensif. Sesampai
di rumah sakit, Heru dan Wildan yang lemas langsung dilarikan di UGD. Menurut
diagnosis dokter, Mereka hanya menderita trauma tumpul dan cedera otot saja.
Setelah mendengar penjelasan dari dokter, Wajah Parman pun langsung berubah
menjadi bahagia. Sungguh mulia hatinya Parman, beliau begitu perhatian dan baik
terhadap dua anak kecil yang tidak dikenalnya. Setelah 1 jam di ruangan UGD,
Heru dan Wildan diperbolehkan pulang.
Parmanlah yang mengantarkan
Heru dan Wildan pulang ke rumah masing-masing. Mendapatkan cucu kesayangannya
terluka parah, Suriati langsung mendadak panik dan sedih. Suriati berkata
" Kenapa kau nak ?" Siapa yang tega berbuat begini sama kamu nak
?". Parman langsung mencoba menenangkan dan menghibur Suriati. Setelah
mengantarkan Wildan dan Heru, Parman langsung bergegas pulang ke kantin lagi.
Suriati pun tampaknya sudah lupa mengucapkan terimakasih atas pertolongan
Parman. Tapi tampaknya Parman bisa memaklumi itu.
Tiga hari sejak peristiwa
naas itu, Wildan tampaknya sudah bisa berjalan pelan-pelan dengan dibantu oleh
Suriati. Pelan-pelan tapi pasti, Wildan tampak sudah sedikit keliatan segar dan
mulai berangsur-angsur pulih. Heru pun tampaknya demikian, walaupun Heru harus
memakai tongkat untuk membantunya berjalan. Seminggu setelah itu, Heru dan
Wildan sepakat untuk masuk sekolah bersama-sama. Tampaknya orang-orang di
sekolah melihat mereka dengan keheranan karena begitu cepatnya mereka pulih
setelah dihajar babak belur oleh Peter dan kawan kawan. Siapapun pasti tidak
akan menyangka Wildan dan Heru bisa begitu cepat pulih dan bisa bersekolah
lagi.
Tampaknya Peter mendengar
bahwa Wildan sudah masuk sekolah, dia pun langsung menghampiri Wildan dan
mengejek " Hei, si pesakitan Miskin sudah masuk kembali ke sekolah !"
Kayaknya dia mau coba ditonjok lagi deh !" Ujar Peter sambil tawa
terkekeh-kekeh. Spontan Wildan yang mendengar itu langsung menjadi berang dan
langsung menghampiri Peter dan berkata. " Dulu itu loe boleh menang tapi
nanti 2 bulan kemudian loe akan kalah telak sama gw !" ujar Wildan dengan
berani. Peter menjadi makin berang dengan tantangan Wildan dan langsung menarik
kerah baju seragam Wildan dan berkata " oke, 2 bulan lagi loe bakal gw
bikin mampus !". Dinding sekolah seakan menjadi saksi tantangan Wildan
terhadap Peter.
Sejak saat itu, banyak
orang-orang di sekolah yang membicarakan Wildan dan Peter serta tantangan
mereka. Para guru pun yang tahu seakan-akan terbius tidak bisa menghentikan
pertarungan itu. Sungguh kasihan sekali ternyata di zaman sekarang masih ada
guru yang sengaja membiarkan muridnya berkelahi. Bahkan para guru pun tampak
pura-pura tidak tahu. Wildan pun tidak kehilangan akal, dia berusaha menggalang
bantuan dari teman-teman sekelas dan kelas lain yang merupakan anak-anak miskin
dan yang sering ditindas Peter untuk bersatu melawan.
Usaha Wildan pada awalnya
memang tidak membuahkan hasil sama sekali, karena hampir semua anak di sekolah
takut sama perilaku Peter dan teman-temannya. Tapi dasar Wildan orangnya tidak
mau menyerah dan terus menerus membujuk dan menyakinkan semua orang untuk
berusaha melawan Peter yang semena-mena. Wildan sampai mengeluarkan petisi
bahwa jika tidak sekarang, selama-lamanya kita akan ditindas oleh Peter atau
orang-orang seperti Peter. Bersambung
Lanjutan nya mana ?
BalasHapus