Mengapa Menjadi Dermawan itu Sangat Mulia (Bagian 2) ?
Setelah sebelumnya saya sempat menuliskan intuisi nurani saya sendiri tentang luhurnya menjadi filantropis. Sekarang saya akan mencoba membahas lebih dalam tentang filantropis atau dermawan.
Menjadi seorang dermawan sejati sungguh bukan hal yang mudah. Kita harus melewati semua proses dalam diri kita sendiri dan bahkan harus mengalahkan keegoisan dalam diri kita sendiri. Di dunia zaman sekarang, semakin sedikit orang yang benar-benar berniat menjadi filantropis sejati. Banyak juga orang zaman sekarang yang beramal hanya mengharapkan iming-iming populer, dikenal orang, dihormati orang, mendapat pujian, program kampanye dan lain sebagainya. Hal ini sungguh sangat menyedihkan.
Jikalau kita ingin amal kita abadi dan diterima oleh sang Khalik, maka haram bagi kita untuk mengharapkan pamrih apalagi pujian. Semakin ikhlas diri kita beramal, maka semakin besar kedudukan dan pahala kita di mata Tuhan.
Ada mitos yang mengatakan bahwa, tidak pernah ada sejarahnya orang yang beramal itu menjadi miskin. Apa mitos ini benar ? Jika kita masukkan dalam logika berpikir kita yang rumit, maka hal itu sungguh tidak dapat dipercaya. Karena logikanya, makin banyak uang yang kita keluarkan, maka sisa uang kita akan semakin sedikit. Tapi ternyata kenyataannya berkata lain, setiap orang yang beramal ikhlas, ternyata dia jauh sekali dari kemungkinan untuk menjadi miskin apalagi bangkrut. Inilah keajaiban Tuhan. Usut punya usut, ternyata hal ini berkaitan dengan kekuatan doa orang yang kita tolong dan kuasa Tuhan. Semakin kita ikhlas, semakin membuat kita dekat dengan Tuhan. Semakin kita ikhlas, doa orang yang kita bantu akan semakin bernilai di mata Tuhan.
Pada suatu ketika, saya sempat memperhatikan seorang pengemis yang tua renta, menyumbangkan uang recehnya untuk dana kemanusiaan. Dengan gaya berjalannya yang limpung, dia merogoh koceknya untuk mengisi sebuah kotak amal. Seketika itu, hati saya sempat terenyuh melihat orang itu dengan baju lusuh dan robeknya dengan begitu semangat. Nah, itulah yang dinamakan Filantropis sejati. Di dunia ini, tidak banyak lagi orang yang bisa melakukan hal seperti itu. Di saat kita mempunyai banyak kekayaan, bukan hal sulit bagi kita untuk beramal kecil, tetapi bagi orang yang miskin papah, uang itu bagaikan dewa penyambung hidup mereka.
Jika kita ingin bahagia, maka kita tidak boleh terus menerus melihat ke atas, apalagi membandingkan diri kita dengan orang yang memiliki keberuntungan dan posisi melebihi kita.
Tujuan hidup manusia yang utama adalah mencapai bahagia dengan berbagai cara. Ada yang bekerja siang malam, mencari uang, mengejar popularitas, mengejar jabatan dan pangkat. Hal ini adalah wujud agar kita bisa mencapai tujuan hidup kita yakni bahagia. Apa dengan harta, pangkat, jabatan, posisi, gelar dll akan membuat kita sungguh bahagia ? menurut Filsuf Konghucu, itu adalah perasaan senang bukan bahagia. Bahagia itu terletak di dalam hati, semakin hati kita kaya, maka bahagia akan selalu melekat di dalam hidup kita.
Ada teman saya yang sungguh sangat stress dan tertekan dengan kondisi studi dan keluarganya, keluarganya tercerai berai, sering bercekcok, studinya terhambat dan dia dikeluarkan dari studi S2 nya. Hal ini membuat dia sungguh menjadi orang yang tidak punya harapan lagi. Untungnya dia segera menyadari hakekat hidup yang sebenarnya dari seorang teman dekatnya.
Jadi kita tidak boleh merasa masalah itu adalah beban berat bagi kita, tetapi anggap saja itu sebagai pembentuk kedewasaan dan mental juang kita. Tidak ada orang sukses dengan instan dan tidak ada orang yang bisa mendapatkan hati bahagia dengan instan. Kuncinya adalah hati nurani yang menjadi pedoman. Hati nurani bisa mengalahkan semua sutra dan kitab. Hati nurani kita adalah wakil Tuhan di dunia. Tetapi untuk mengasa hati nurani supaya menjadi cemerlang, kita harus banyak introspeksi dan berkontak erat dengan Tuhan.