Ini adalah sepenggal kisah seorang pemuda yang kerap mendapat perlakuan tidak adil dari lingkungan hidupnya. Adalah Wildan, seorang pemuda tuna netra 25 tahun yang tinggal di sebuah desa kumuh yang penuh dengan orang-orang miskin dan papah.
Desa ini disebutkan orang-orang bernama Desa Tinggir, sebuah pedalaman yang cukup manis di pinggiran kota. Banyak orang yang tinggal di desa ini adalah orang yang tanpa pekerjaan alias pengangguran, orang yang hidup tanpa tujuan, orang yang selalu khawatir akan hidupnya esok hari. Banyak dari mereka hanya menggantungkan hidupnya dari bekerja serabutan, menjadi pemulung, pedagang kaki lima, kuli, penjual koran dan lain sebagainya. Tetapi ada juga yang beruntung dalam hidupnya bisa menjadi pedagang, pemilik kebun, pemilik ladang, pemilik pabrik, makelar, pegawai negeri sipil, aparat pemerintah.
Setiap hari orang-orang di dalam desa ini selalu berlalu lalang di jalan di depan pasar desa yang memang selalu ramai setiap hari dilalui orang tapi tidak pada malam hari. Jika kita pernah melihat kuburan di malam hari, maka kita bisa mengatakan desa Tinggir adalah mirip kuburan. Banyak orang mengira itu adalah kebiasaan orang-orang di sana yang aneh pada malam hari dengan membuat jalanan yang biasanya ramai pada siang hari tapi menjadi sepi seperti kuburan di malam hari. Sebenarnya ini tidak lepas dari sejarah desa ini yang dulu pernah ada banyak tindak kejahatan yang sadis di malam hari hingga merenggut banyak korban baik dewasa mau anak-anak, baik laki-laki ataupun perempuan. Sampai sekarang pun pihak yang berwajib belum menemukan titik terang dari kasus yang mengerikan itu. Maka dari itulah, pemerintah di kabupaten itu memberikan peringatan kepada semua masyarakat di sana untuk tidak beraktifitas pada malam hari.
Sebenarnya desa ini mempunyai banyak kelebihan dari desa-desa lain di daerah lain. Orang-orang yang ramah, mudah bergaul, terbuka untuk semua orang, banyak hasil bumi, tidak ada bencana, sungai dan laut juga menjadi pembatas dari desa ini. Jadi bisa dibayangkan betapa banyak yang bisa dihasilkan dari desa ini jika dikelola dengan baik. Tapi apa mau dikata, banyak hasil bumi tapi tidak ada sumber daya manusia, tidaklah berguna. Semua yang adapun akan menjadi sia-sia.
Desa Tinggir sesungguhnya banyak melahirkan orang-orang hebat yang mengadu nasib di kota, tapi semuanya tidak pernah memperhatikan perkembangan kampung kelahirannya, sungguh merupakan peristiwa yang sangat ironis. Pada mulanya desa ini punya banyak tempat wisata yang bisa membuat orang luar yang datang berdecak kagum, pemandangan sawah hijau yang rindang, laut dan pantai yang indah, bukit dan pegunungan yang agung dan sangat kokoh di kakinya, belum lagi sungainya yang masih alami dan berair bening dengan penuh batu-batu dan air terjun yang tak kalah bila dibandingkan dengan air terjun di tempat lain. Setiap sore, kita bisa melihat keceriaan anak-anak di sana yang bermandikan air telaga sungai dengan kepolosan mereka tanpa menghiraukan apa masalah yang terjadinya pada orang-orang dewasa.
Burung-burung yang berterbangan di atas sawah dan ladang menandakan desa ini desa yang hidup dan awan putih bak salju yang menutupi puncak-puncak bukit yang ada sungguh bisa menambah kesan manis pada desa ini. Tetapi entah mengapa sejak 10 tahun terakhir ini, banyak orang pendatang yang mulai memenuhi setiap sudut desa dengan berbagai macam pikiran untuk mengubah struktur alami desa, maka lambat-laun, semua yang bisa dilihat dari dulu pelan-pelan menjadi berubah. Banyak sungai yang dulu bening kini sudah mulai ada sampah-sampah di setiap aliran airnya, sawah-sawah yang dulunya hijau kini sudah banyak yang hilang.
Tidak banyak yang bisa dibanggakan dari kehadiran desa ini. Tapi ada satu kebanggaan dari kota ini adalah dari sinilah lahir seorang pemuda nan tangguh, berpendirian kuat, pandai dalam bergaul, cerdas. Iya, dialah Wildan yang menjadi bagian utama dalam kisah ini seterusnya.
Dua puluh tahun sebelum hari ini, Wildan adalah seorang anak yang sehat dan ceria karena disayangi oleh semua anggota keluarganya. Sejak kecil sudah terlihat perbedaan Wildan dengan orang-orang di sekitarnya, Wildan adalah seorang yang penuh bakat, prinsip hidup, penuh cinta, kesetiaan, berpendirian teguh dan sangat berbakti. Sejak umur 4 tahun, Wildan sering menunjukkan sebagai seorang anak yang sangat membantu keluarga dengan tidak bertingkah sebagai anak nakal atau bandel pada umumnya. Sang papa, Mahmud, yang bekerja di sebuah pabrik kertas dekat kediamannya. Sang ibu, Yuliati, yang hanya mendedikasikan hidupnya untuk keluarga. Dan seorang kakak, Wilmar yang juga sangat menyayangi adiknya Wildan.
Semenjak kecil Wildan memang sudah menjadi kesayangan dan buah hati papa dan mamanya, mungkin dikarenakan semua tingkah laku nya yang penuh kelucuan dan ketulusan, rasa-rasanya seolah di keluarga Mahmud telah terjadi tindakan pilih kasih terhadap Wildan. Saat itu Wilmar, sang kakak masih berumur 10 tahun yang juga tentunya sangat menyayangi adiknya Wildan. Jika membicarakan Wildan, berasa kata-kata yang ada bakal tidak cukup untuk menggambarkan kisah masa kecil Wildan yang penuh keceriaan. Banyak pemandangan kejadian yang ada di rumah Mahmud bisa membuat orang-orang yang datang di rumahnya menjadi iri hati dengan keharmonisan orang tua dan anak-anaknya. Sang Ibu Yuliati juga sangat telaten merawat kedua anaknya, tentunya semua dilakukan dengan penuh kasih sayang. Setiap pagi Yuliati selalu bangun lebih pagi dari yang lain untuk menyiapkan sarapan yang sehat, mencuci pakaian, menyapu, mengepel dan membereskan pekerjaan rumah lainnya. Rumah Wildan merupakan tipe rumah yang sederhana yang hanya memiliki 3 kamar termasuk gudang, 1 kamar mandi, halaman depan dan belakang, dan hanya berlantai satu. Memang begitulah tipikal rumah-rumah orang di desa Tinggir. Yuliati mungkin bisa dikategorikan sebagai ibu rumah tangga idaman.
Mahmud, yang setiap pagi harus berangkat kerja di pabrik yag tak jauh dari tempat tinggalnya. Dia pun sangatlah ulet dalam bekerja, pintar bergaul dengan tetangga dan rekan kerjanya di pabrik, serta mampu mengambil hati atasan-atasannya. Tak salah jika dalam kurun waktu 5 tahun, Mahmud sudah menjadi kepala pengawas di pabriknya. Banyak kemajuan yang dibuat Mahmud untuk mengembangkan pabriknya dan itu tidaklah sia-sia. Pabriknya menjadi produsen kertas tunggal di kebupaten bahkan di provinsi yang masih mendapat omzet yang tinggi. Dari jam 8 sampai jam 5 sore, dia selalu berada di pabrik dan kadang-kadang dia lembur sampai jam 8 malam. Semua itu dilakukan Mahmud tanpa beban. Tampaknya kinerja Mahmud ini sangat dipengaruhi oleh keharmonisan di rumahnya.
Setiap pagi keluarga kecil ini selalu menyempatkan diri sarapan pagi di meja makan bundar putih rumah mereka. Keluarga Bapak Mahmud termasuk keluarga yang sederhana dan taat beribadah. Rasanya jarang sekali mereka melupakan sholat lima waktu yang diwajibkan Islam bagi semua umatnya. Mahmud sendiri adalah seorang bapak yang sangat keras mendidik anak-anaknya, bahkan kadang-kadang dia selalu berkata kasar jika anak-anaknya nakal, tapi di balik itu semua sebenarnya dia adalah seorang bapak yang sangat bijaksana dan penyayang. Ada suatu kali Wildan berbuat salah dengan memecahkan vas bunga kesayangan ibunya tanpa sengaja, seketika itu Mahmud langsung memaki dan menjewer kuping Wildan bahkan hampir memukul kepala Wildan, tapi untungnya Mahmud mengurungkan niat emosinya itu.
Setiap hari keluarga ini selalu menghabiskan waktu di ruang tamu keluarganya untuk berkelakar tentang apa saja. Banyak orang di sekitar rumahnya yang rasa-rasanya iri melihat kehormonisan keluarga ini. Tetapi di suatu hari yang naas, ketika keluarga Mahmud pergi bertamasya ke kebun binatang di luar kota, ketika itu Wildan masih berusia 5 tahun yang masih belum mengerti apa-apa tentang kehidupan. Bus yang ditumpangi Mahmud sekeluarga mengalami kecelakaan tragis,
Bus yang mereka tumpangi menabrak pembatas jalan dan mobil- mobil yang ada di depannya sehingga terbalik. Melihat dari kondisi kerusakan busnya, rasa-rasanya tidak akan ada penumpang yang akan selamat dari maut ini. Sekitar 3 jam, bus ini ditelantarkan di situ tanpa adanya bantuan medis atau P3K. Dalam keadaan hujan lebat dan kesunyian sore itu, rombongan yang ditunggu-tunggu akhirnya menampakkan diri yakni petugas medis dan kepolisian. Dalam segala rasa kepanikan, para petugas mulai menyisir satu per satu tempat kecelakaan dengan seksama, tapi tidak ditemukan penumpang yang selamat. Sudah 1 jam petugas membongkar dan mencoba menemukan seutas harapan di balik kaca-kaca bus yang berserakan dan puing-puing yang hancur.
Dengan keadaan bus yang terbalik itu, rasa-rasanya sulit bagi siapapun untuk masuk ke dalam melihat langsung keadaan korban satu-persatu secara seksama. Tetapi di antara petugas kepolisian itu terlihat ada seorang pemuda bernama Antonius yang berusia 20 tahun ke atas yang baru saja menyelesaikan pendidikan kepolisiannya. Rasa-rasanya hanya dia yang tetap semangat menggerakkan bola mata dan kakinya untuk mencari korban yang selamat. Akhirnya terdengar erangan dari seorang anak laki-laki, entah itu dari mana datangnya. Dengan penuh pengharapan, Antonius seraya berteriak kepada petugas yang lain di situ untuk membantu menemukan sumber suara tadi. Tentunya kita tahu bahwa tidak mudah menemukan orang yang tertutup oleh bangkai bus apalagi hanya dengan petunjuk sebuah erangan suara yang lemah. Antonius berusaha memanggil balik suara tadi dengan berteriak “ Halo, tadi siapa yang bersuara ?” Dan akhirnya dengan susah payah terlihat sebuah kepala anak kecil yang melongok keluar dari badan orang dewasa, ternyata itu Wildan dengan wajah yang penuh bercak darah, Wildan berusaha menggapai sebuah pegangan dan berteriak sekuat mungkin “ Tolong, tolong !!”.
Singkat cerita, akhirnya dengan bantuan semua petugas di sana, tubuh Wildan berhasil dievakuasi dari tempat kecelakaan. Wildan dalam keadaan lusuh dan menangis terseduh, masih tetap tidak percaya dari sekian puluh orang penumpang hanya dia yang selamat dan masih terngiang di benaknya saat terjadi peristawa naas itu. Mengapa hanya dia yang ditemukan selamat dan siapa tubuh orang dewasa yang melindunginya tadi. Dalam pikiran anak 5 tahun, tentulah hal itu bukan hal yang mudah untuk diterima dan dimengerti.
Setelah ditemukan, Wildan langsung dilarikan di rumah sakit terdekat untuk mendapat pertolongan. Banyak luka di sekujur tubuhnya yang dipenuhi bercak darah dan di perjalanan pun, Wildan sempat tak sadarkan diri. Tapi untungnya saat tiba di rumah sakit, keadaannya menjadi stabil. Dua minggu setelah kejadian, Wildan yang kini sebatang kara diperbolehkan pulang oleh rumah sakit. Untungnya seluruh biaya pengobatan rumah sakit ditanggung oleh pihak pemerintah dan asuransi bus, walaupun begitu, Wildan tetap bingung harus pulang ke mana. Tak ada lagi keluarga yang setiap hari menemaninya, tak ada lagi Bapak, Ibu dan Kakak yang selalu berada di sisinya. Dengan lunglai, sambil menelusuri selasar rumah sakit, Wildan terus tampak murung dan tak henti-hentinya meneteskan air mata. Dia sendiri bingung harus pergi kemana. Tiba-tiba ada seorang nenek tua datang menghampiri dan memanggilnya “ Wildan, Wildan !!” Langsung dipeluknya dengan erat Wildan seraya berkata “ Saya nenek kamu Wil.”
Tentunya dalam kebingungan, Wildan sempat bertanya dalam hati “Bukannya nenek saya sudah meninggal dunia?” Tanpa sempat bertanya panjang lebar, nenek Wildan yang bernama Suriati itu langsung mengajak Wildan tinggal di rumahnya di dekat pinggiran rel kereta api. Sesampai di rumah, Suriati langsung menceritakan bahwa dia adalah nenek dari Ibunya yang telah lama ditinggalkan karena pertengkaran hebat jauh hari sebelum Mahmud dan Yuliati menikah. Seketika itu dengan mata yang memerah Wildan bertanya kepada sang nenek “ Mana bapak, mana Ibu ?” Suriati juga cuma bisa menatap Wildan sambil berlinang air mata seraya berkata “ Wildan, Ibu kamu sedang tidak ada di rumah.” Suriati pun tidak menjelaskan lebih lama karena dia tahu cucu kesayangannya ini masih anak kecil yang belum mengerti apa-apa.
Hari-hari Wildan yang dulu dipenuhi dengan canda tawa dan keceriaan langsung berubah drastis dikarenakan harus hidup di rumah yang kumuh di samping rel kereta api yang sebenarnya tidak layak untuk dihuni. Setiap pagi dia harus mendengarkan suara bising kereta api yang memekakkan telinga, begitu pula siang hari, dia harus menemani neneknya berjualan kue di pasar dekat rumahnya. Saat malam hari, serangan gelap gulita akan menjadi sesuatu hal yang menakutkan bagi semua anak kecil termasuk Wildan.
Saat berumur 7 tahun, neneknya berusaha dengan sekuat tenaga menyekolahkan Wildan di SD Negeri di dekat rumahnya. Pihak sekolah pada awalnya tidak meloloskan Wildan menjadi murid di sekolah itu. Maklumlah dengan penampilan semrawut dan apa adanya bahkan bisa dibilang seperti gelandangan, pihak sekolah mana yang berani menerima murid seperti itu. Pertama kali menghadap pihak sekolah, Suriati dan Wildan pulang dengan tangan kosong dan raut muka sedih yang artinya Wildan tidak diterima di sekolah itu. Tapi Suriati adalah nenek yang sangat menyayangi cucu satu-satunya ini dan ingin cucunya bisa sekolah yang tinggi dan menjadi orang sukses suatu hari kelak. Setiap hari Suriati selalu termenung di depan rumahnya dan terus memutar otaknya mencari cara agar Wildan bisa diterima di sekolah itu.
Maklum saja semua anggota keluarga Wildan dan Suriati sudah tidak ada lagi, satu-satunya keluarga adalah ibunya Wildan yang sudah meninggal dunia akibat kecelakaan 2 tahun silam. Suatu hari saat Suriati berjualan kue di pasar bersama Wildan, mereka berpas-pasan dengan Pak Antonius, bapak polisi yang dulu pernah menolong Wildan dari kecelakaan maut bus dan beliaulah yang mencari tahu dan memberitakan sanak keluarga Wildan satu-satunya yakni Suriati untuk menjemput Wildan di rumah sakit tempat Wildan dirawat dulu.
Awalnya Suriati masih ragu untuk menyapa Antonius karena takut salah mengenali orang apalagi dia anggota kepolisian yang notabene ditakuti di daerah itu. Tanpa pikir panjang lagi, Suriati langsung memanggil Antonius “ Pak, pak, saya Suriati nenek Wildan, bapak masih ingat tidak ?” Seketika itu, dengan wajah bingung berusaha mengingat Suriati. “ Antonius berkata, “Oh, nek Suriati ya? “ Gimana kabarnya nek ?”. Dalam hati Suriati merasa sangat gembira sekali karena bertemu dengan dewa penolong Wildan dulu. Sekitar setengah jam, mereka ngobrol akrab tentang berbagai hal sambil mengingat masa lalu ketika terjadi kecelakaan maut itu. Tanpa ragu-ragu, Suriati langsung menceritakan permasalahan Wildan kepada Antonius.
Antonius yang sesungguhnya orang yang mempunyai rasa empati yang tinggi apalagi dia merasa Wildan mempunyai jodoh yang baik dengan dirinya sejak peristiwa kecelakaan itu. Tanpa pikir panjang, Antonius berjanji akan mengantarkan Wildan untuk menemui pihak sekolah esok hari. Maka keesokkan harinya, berangkatlah Wildan, Suriati dan Antonius ke sekolah dasar itu dengan agak penuh semangat dan penuh keyakinan diri.
Sesampainya di sana, dengan berbagai cara, Antonius berusaha meyakinkan dan menjamin bahwa Wildan layak untuk diterima di sekolah ini. Dasar pihak sekolahnya saja yang kurang mengerti dan tetap bersikeras tidak memperbolehkan Wildan bersekolah di sini. Saat mendengar keputusan sekolah yang tidak berperikemanusiaan itu, langsung saja Antonius menjadi sangat berang dan marah. Dia masih tidak percaya di zaman sekarang masih ada orang yang tidak bisa bersekolah di SD hanya karena dia miskin dan tidak punya orang tua. Saat meninggalkan ruang kepala sekolah, mata Suriati tampak memerah dan tak kuasa menahan air mata jatuh menetes di lantai sekolah.
Ketika sudah berada di depan pintu gerbang sekolah, Suriati langsung memeluk erat Wildan dan berkata “ Wil, jangan bersedih ya, nanti kita cari cara lain, mungkin belum jodoh mu untuk bersekolah di sini “. Tak pelak, tangis Suriati langsung pecah di kesunyian pagi hari itu. Rasa-rasanya di dunia ini tak ada lagi tempat bagi mereka berdua. Dalam benak Suriati, banyak perasaan yang bercampur aduk antara marah, benci, kecewa, sedih dan tidak percaya. Dia merasa bahwa mereka adalah korban dari ketidakadilan pemerintah terhadap rakyatnya.
Berulang kali Suriati mencoba menghapus air mata dengan baju lusuhnya, tapi air mata itu pun rasanya ikut terjatuh mengikuti rintihan tangisnya. Hampir sejam cucu dan nenek itu berdiri di depan sekolah tersebut. Rasa-rasanya mereka hampir enggan untuk beranjak pulang. Tapi begitu Antonius datang menghampiri, Suriati pun langsung mau diajak pulang ke rumah.
Di jalan menuju pulang, Antonius kelihatan sangat menyimpan amarah dan kekesalannya, Suriati pun rasa-rasanya tidak berani bertanya lebih jauh kepada Antonius. Untungnya Antonius langsung mulai berbicara. “Besok saya akan menghadap Bapak Kosim di rumahnya,” Kata Antonius. Suriati pun semakin heran dengan perkataan Antonius. Dalam hati Suriati berpikir “Kira-kira kenapa ya, pak Antonius ingin ke rumah pak Kosim besok?” Antonius langsung bilang kalau dia akan meminta bantuan pak Kosim yang merupakan orang dermawan dan terpandang di kota sekitar sekolah itu.
Keesokkan harinya, tanpa basa-basi, pak Kosim pun sangat ingin membantu Wildan bersekolah. Tentunya dengan bantuan dan rekomendasi pak Kosim akhirnya bisa masuk ke sekolah negeri favorit itu. Pihak sekolah pun tampaknya sempat malu hati menerima Wildan kembali setelah ditolak terus- menerus bahkan ditolak dengan tidak berperikemanusiaan hanya karena dia orang miskin.
Setelah mendengar berita baik ini, bukan main senangnya hati Suriati, cucu kesayangannya bisa sekolah juga walaupun baru sekolah dasar. Tak henti-hentinya Suriati meneteskan air mata tapi kali ini bukan air mata kesedihan tapi air mata penuh kebahagiaan.
Malam itu juga setelah mendengar berita itu, Suriati langsung Sholat dan bersyukur tak henti-hentinya kepada Allah, Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dia pun mengajak Wildan untuk sholat bersamanya dan berkata “ Wildan, cucu ku, minggu depan sudah bisa sekolah ya.” Nanti harus jadi orang sukses dan pintar ya.” Wildan pun hanya bisa diam seribu bahasa sambil menatap wajah kasih neneknya. Mungkin di dalam hati Wildan hanya bisa bersyukur dan berjuta kali bersyukur bahwa dia masih punya nenek yang hebat seperti ini.
Tibalah saatnya Wildan pertama kali masuk sekolah. Dengan pakaian seragam seadanya yang didapat dari Antonius yang notabene juga merupakan pakaian bekas, Wildan tampak keliatan berbeda di hari itu. Sepatu yang dikenakan Wildan pun tampaknya sepatu yang lusuh yang semuanya itu merupakan hasil jerih payah Suriati dan Antonius. Sungguh budi jasa kedua orang ini terhadap Wildan amatlah besar. Pada saat masuk kelas, Wildan berkenalan dengan teman abadi dia yang bernama Heru. Tampaknya dalam sekejab, mereka berdua sudah menjadi sepasang sahabat yang sejati. Seringkali Heru mendapat perlakuan tak adil dari teman yang lain, Wildanlah yang selalu membantu Heru dan begitu pula sebaliknya. Di saat mereka tampak akrab, di sinilah dimulainya perjuangan hidup Wildan. Di kelas mereka itu terdapat banyak sekali anak orang berduit dan anak pejabat daerah. Rata-rata dari mereka semuanya hanya mau berteman dengan orang sederajat dan kerap sekali mereka mencibir orang-orang miskin seperti Wildan dan Heru. Heru sendiri merupakan anak dari keluarga penjual sayur keliling yang ternyata tinggal tak jauh dari rumah Suriati.
Dari seluruh kelas 1 sampai kelas 6, ada seorang anak bernama Peter yang sangat pintar dan anak orang terkaya di desanya Wildan dan sekaligus sangat sombong. Walaupun begitu, dia merupakan murid kesayangan para guru. Karena itulah, Peter semakin hari semakin melonjak perilakunya. Dia sering menindas anak-anak seperti Wildan dan Heru, bahkan sampai memukuli mereka ketika dia merasa tidak senang. Anehnya, para guru yang sudah tahu tidak bisa berbuat banyak.
Hari demi hari Wildan dan Heru lewati bersama, kadang-kadang mereka selalu pergi dan pulang bersama saat ke sekolah, seakan-akan tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Perawakan mereka juga hampir-hampir mirip dengan tinggi 1 meter lebih sedikit, dengan kulit sawo matang, rambut ikal. Sehingga kalau memandang dari kejauhan, semua orang akan sulit mengenali mana Wildan dan mana Heru. Seringkali Heru menginap di rumahnya Wildan dan begitu pula dengan Wildan yang sering menginap di rumah Heru. Mereka benar-benar sudah menjadi sahabat sehidup semati hanya dalam waktu beberapa bulan berkenalan.
Bercerita tentang permasalahan mereka dengan Peter pastilah tidak akan ada habis-habisnya. Peter tampaknya sangat membenci tindak-tanduk Wildan apalagi Wildan terkenal dengan kepintarannya di kelas sehingga ini semakin menyulut api kebencian di dalam hati Peter. Heru pun juga tidak terhindar dari api amarahnya Peter. Ada suatu hari mereka bertemu di kantin, kala itu Peter baru saja datang tapi tiba-tiba mengusir mereka dengan kata-kata kasar yang sebenarnya tidak pantas diucapkan oleh seorang murid sekolah dasar yang pada dasarnya memang masih kecil. Kala itu semua makian dan kata-kata binatang begitu saja keluar dari mulut seorang Peter sehingga seluruh pengunjung kantin pada keheranan dan merasa takut juga dengan ulahnya Peter. Di sekolah, Peter dikenal dengan tindakan semena-menanya karena dia mempunyai pengikut banyak yang notabene juga merupakan murid sekolah itu sendiri dan anehnya para guru seakan tutup mata dan telinga terhadap perilaku Peter bahkan tak jarang para guru masih tetap menyayangi Peter dikarenakan Peter pintar dan anak orang kaya. Saat di kantin inilah Wildan didorong Peter sehingga jatuh tersungkur di bawah meja kantin, Heru pun langsung menolong Wildan. Tapi seketika itu bogem mentah pun melayang di wajah Heru dan Wildan. Membayangkannya pun kasihan apalagi bagi orang-orang yang menonton pertunjukkan singkat itu secara langsung. Wildan yang geram dan tidak tahan dengan tindakan kasar dari Peter, langsung melawan dan menyepakkan kakinya ke arah perut Peter, Untungnya Peter yang saat itu sedang lengah, tidak menyadari arah datangnya tendangan Wildan sehingga langsung terkena sepakan dan duduk terjatuh sambil memegang perutnya dengan wajah kesakitan.
Gerombolannya Peter pun tidak mau berdiam diri, mereka yang berjumlah 4 orang langsung mengeroyok Wildan dan Heru dengan membabi buta. Heru dan Wildan pun tampak kewalahan menghadapi gempuran bertubi-bertubi dari 4 orang itu. Sambil terbaring lemah di lantai, Wildan dan Heru tampak sudah babak belur dipukuli oleh anak buahnya Peter. Untunglah ada seorang bapak tua bernama Parman yang membantu melerai perkelahian itu. Jikalau Parman tidak datang melerai, maka bisa dipastikan tidak akan ada orang yang berani menghentikan peter dan kawan-kawan beraksi dan pastilah Wildan dan Heru sudah sekarat bahkan bisa meninggal di tempat kejadian. Entah apa yang terjadi kenapa semua orang tidak berani melerai atau mencegah perbuatan anak kecil setingkat Sekolah Dasar itu, padahal mereka hanyalah segerombolan anak kecil, sedangkan di sana kebanyakan adalah orang dewasa yang berjualan di sekolah dan para pegawai sekolah itu sendiri. Mungkin dikarenakan Peter merupakan anak orang kaya di desa itu, maka orang-orang tidak berani menyentuh atau berurusan dengan keluarga Peter. Sungguh sangat ironi fakta dan kejadian ini.
Ketika melerai perkelahian itu, Parman pun tak pelak ikut berkelahi dengan 4 orang anak kecil itu. Tapi Parman yang ternyata seorang ahli beladiri silat sangatlah mampu mengatasi perlawanan keempat anak kecil itu. Tampak empat orang itu juga tersungkur sama seperti Peter. Mereka pun dalam sekejab langsung lenyap dari Kantin itu. Wildan yang masih dalam keadaan sadar langsung bersyukur dalam hati sambil melihat kondisi Heru. Setelah Peter dan kawan-kawan pergi dari kantin, Parman langsung memapah Heru dan Wildan ke ruangan UKS yang tak jauh dari kantin. Di sana mereka sempat mendapat pengobatan luka sementara. Tapi tampaknya Parman langsung berniat membawa mereka ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan intensif. Sesampai di rumah sakit, Heru dan Wildan yang lemas langsung dilarikan di UGD. Menurut diagnosis dokter, Mereka hanya menderita trauma tumpul dan cedera otot saja. Setelah mendengar penjelasan dari dokter, Wajah Parman pun langsung berubah menjadi bahagia. Sungguh mulia hatinya Parman, beliau begitu perhatian dan baik terhadap dua anak kecil yang tidak dikenalnya. Setelah 1 jam di ruangan UGD, Heru dan Wildan diperbolehkan pulang.
Parmanlah yang mengantarkan Heru dan Wildan pulang ke rumah masing-masing. Mendapatkan cucu kesayangannya terluka parah, Suriati langsung mendadak panik dan sedih. Suriati berkata " Kenapa kau nak ?" Siapa yang tega berbuat begini sama kamu nak ?". Parman langsung mencoba menenangkan dan menghibur Suriati. Setelah mengantarkan Wildan dan Heru, Parman langsung bergegas pulang ke kantin lagi. Suriati pun tampaknya sudah lupa mengucapkan terimakasih atas pertolongan Parman. Tapi tampaknya Parman bisa memaklumi itu.
Tiga hari sejak peristiwa naas itu, Wildan tampaknya sudah bisa berjalan pelan-pelan dengan dibantu oleh Suriati. Pelan-pelan tapi pasti, Wildan tampak sudah sedikit kelihatan segar dan mulai berangsur-angsur pulih. Heru pun tampaknya demikian, walaupun Heru harus memakai tongkat untuk membantunya berjalan. Seminggu setelah itu, Heru dan Wildan sepakat untuk masuk sekolah bersama-sama. Tampaknya orang-orang di sekolah melihat mereka dengan keheranan karena begitu cepatnya mereka pulih setelah dihajar babak belur oleh Peter dan kawan kawan. Siapapun pasti tidak akan menyangka Wildan dan Heru bisa begitu cepat pulih dan bisa bersekolah lagi.
Tampaknya Peter mendengar bahwa Wildan sudah masuk sekolah, dia pun langsung menghampiri Wildan dan mengejek " Hei, si pesakitan miskin sudah masuk kembali ke sekolah !" Kayaknya dia mau coba ditonjok lagi deh !" Ujar Peter sambil tawa terkekeh-kekeh. Spontan Wildan yang mendengar itu langsung menjadi berang dan langsung menghampiri Peter dan berkata. " Dulu itu loe boleh menang tapi nanti 2 bulan kemudian loe akan kalah telak sama gw !" ujar Wildan dengan berani. Peter menjadi makin berang dengan tantangan Wildan dan langsung menarik kerah baju seragam Wildan dan berkata " oke, 2 bulan lagi loe bakal gw bikin mampus !". Dinding sekolah seakan menjadi saksi tantangan Wildan terhadap Peter.
Sejak saat itu, banyak orang-orang di sekolah yang membicarakan Wildan dan Peter serta tantangan mereka. Para guru pun yang tahu seakan-akan terbius tidak bisa menghentikan pertarungan itu. Sungguh kasihan sekali ternyata di zaman sekarang masih ada guru yang sengaja membiarkan muridnya berkelahi. Bahkan para guru pun tampak pura-pura tidak tahu. Wildan pun tidak kehilangan akal, dia berusaha menggalang bantuan dari teman-teman sekelas dan kelas lain yang merupakan anak-anak miskin dan yang sering ditindas Peter untuk bersatu melawan.
Usaha Wildan pada awalnya memang tidak membuahkan hasil sama sekali, karena hampir semua anak di sekolah takut sama perilaku Peter dan teman-temannya. Tapi dasar Wildan orangnya tidak mau menyerah dan terus menerus membujuk dan menyakinkan semua orang untuk berusaha melawan Peter yang semena-mena. Bahkan Wildan sampai mengeluarkan petisi bahwa jika tidak sekarang, selama-lamanya kita akan ditindas oleh Peter atau orang-orang seperti Peter.
Sontak ketika semua siswa mendengar itu menjadi terharu dan tampaknya perjuangan Wildan membuahkan hasil yakni ada Rudi dan Krisna yang secara-terangan menjadi pendukung. Selidik punya selidik ternyata Krisna dan Rudi ini pernah menjadi korban kesemena-menaan seorang Peter bahkan katanya lebih parah dari yang pernah dialami Wildan.
Lama-kelamaan dalam waktu 2 minggu, sudah banyak siswa yang menyatakan mendukung perlawanan Wildan. Wildan pun tampak merasa ikut bahagia dan dalam hati bergumam, ternyata saya tidak sendiri ! Saya tidak sendiri !
Wildan yang dasarnya pintar mencari peluang tak pernah melupakan seorang Parman yang pernah membantunya. Karena Parman seorang ahli beladiri. Wildan pun tak segan-segan meminta bantuan dan wejangan Parman. Hampir setiap hari dalam waktu dua bulan, Wildan mendatangi rumahnya Parman di malam hari. Hampir setiap hari pula, mereka terlibat latihan yang serius seakan-akan mau mengikuti lomba beladiri yang besar. Parman pun tampaknya tak ragu-ragu memberikan latihan kepada Wildan karena pada dasarnya Parman adalah orang yang tidak suka melihat ketidakadilan dan menyukai seorang yang pemberani seperti Wildan.
Dua bulan waktu berlalu tanpa terasa, akhirnya sampai hari yang telah ditentukan untuk duel antara Wildan dan Peter. Di lapangan sepakbola yang sepi pada sore harinya, tampak Wildan datang dengan Heru, Krisna dan Rudi serta Parman. Tepat pukul 3 sore setelah jam pulang sekolah, munculnya Peter dengan gerombolan anak buahnya. Peter tampaknya datang dengan penuh percaya diri akan menang.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Peter dan Wildan langsung saling berhadapan dan bertatap mata secara tajam dan serius. Wildan memulai pembicaraan, “ Jikalau kau kalah hari ini, berjanjilah untuk tidak mengganggu semua anak murid di sekolah ini lagi !” Dan harus menuruti semua peraturan dan kata-kata saya !” Peter langsung berteriak garang, “ loe gak bakalan bisa hidup setelah hari ini anak ingusan!” Kalau loe menang, gue akan menuruti semua kemauan loe tapi kalau loe yang kalah dan mungkin beruntung gak mampus, loe mesti keluar dari sekolah ini!” Wildan dan Peter pun tampaknya larut dalam perjanjian-perjanjian maut sebelum duel ini.
Tibalah saat ketika Wildan dan Peter mengeluarkan seluruh kemampuan beladirinya yakni mereka tampak saling memukul dan bergulat di atas rumput lapangan bola yang hijau. Dalam waktu 30 menit, tampaknya belum ada tanda-tanda kemenangan dari siapa pun. Beberapa kali Wildan memukul telak wajah Peter sehingga hidungnya tampak mengeluarkan darah yang tidak sedikit. Teman-teman Wildan yang menyaksikan dari kejauhan tampak juga ikut deg-degan dengan pertarungan sengit itu. Akhirnya Peter yang sudah kewalahan menangkis semua serangan dan tendangan dari Wildan pun tersungkur tergeletak lemah di atas rumput itu dan Wildan pun tampak berlutut tak jauh dari posisi Peter tergeletak lemah. Peter tampaknya sudah menyadari bahwa diri sudah kalah dan mengangkat tangannya tanda kekalahan.
Tapi tak disangka, anak buahnya Peter yang berjumlah puluhan orang tidak puas dengan kekalahan bosnya dan langsung menyerang Wildan dari kejauhan. Tiba-tiba Peter berbesar hati dan langsung berteriak lirih menyuruh anak buahnya untuk berhenti berbuat curang begitu. Akhirnya duel itu dimenangkan oleh Wildan dengan susah payah.
Setelah kejadian naas itu, Peter seketika berubah menjadi diam dan tampak tidak bahagia. Bekas-bekas luka di sekujur wajahnya masih tampak jelas walaupun kejadian itu sudah berlalu satu minggu. Seringkali teman dan kroni-kroninya bertanya ada apa dengan Peter, tapi tampaknya Peter lebih senang untuk diam. Hari-hari Peter banyak dihabiskan untuk merenung. Saat Peter bertemu Wildan pun, dia tampaknya masih enggan untuk berdamai dan masih kelihatan acuh tak acuh. Wildan pun tampaknya tidak bisa berbuat banyak terhadap sikap Peter kepadanya. Selang 3 minggu setelah kejadian itu Peter tanpa terduga menyapa Wildan dengan penuh rasa penyesalan. Wildan pun yang mendengar sapaan Peter itu langsung menoleh dengan penuh rasa kaget, Wildan pun berpikir ada angin apa semalam dan mimpi apa saya semalam mendapat sapaan ramah dari Peter, Sang kepala Geng di sekolahnya yang terkenal sombong.
Teman-teman Peter dan Heru pun masih pangling melihat gelagat Peter yang ingin mengajak damai dengan Wildan. Wildan pun langsung semangat menanggapi ajakan Peter untuk berdamai ini. Tak dinyana, semenjak itu Wildan dan Peter menjadi sepasang kawan yang sulit dipisahkan, bahkan setiap saat ada Wildan, di situ pasti ada Peter. Para guru dan murid-murid di sekolah pun terheran-heran dengan fenomena menakjubkan itu.
Sebulan sejak peristiwa duel itu berlalu, banyak kejadian-kejadian penuh hikmah yang dialami Peter, Wildan dan Heru. Mereka sering terlibat bermain bersama di lapangan dekat rumah Wildan. Tak jarang pula, Wildan mengunjungi rumah Peter bersama Heru. Mereka kelihatan sangat kompak dan tampak ceria. Semua orang yang kenal mereka pasti tidak menyangka ternyata mereka bertiga berjodoh menjadi sahabat karib.
Singkat cerita setelah lulus SD, Wildan pun kesulitan untuk melanjutkan ke SMP dikarenakan tidak ada biaya untuk uang masuk SMP yang mahal. Lain halnya dengan Heru dan Peter, dalam hal biaya sekolah mereka berdua tidak ada masalah. Tapi yang namanya sahabat pastilah merasa sedih dengan kejadian yang menimpa Wildan. Heru dan Peter sempat menawarkan Wildan untuk memberikan pinjaman uang dari orang tua mereka masing-masing. Tetapi dasar Wildan yang keras kepala ngotot tidak mau menerima pinjaman dari siapapun. Wildan pun memutuskan bekerja menjual koran di jalanan dan membantu mengantarkan kue buatan Mak Sutinah ke pasar setiap subuh.
Di sinilah timbul cerita menarik untuk disimak. Di saat Wildan setiap subuh berangkat mengantarkan kue buatan Mak Sutinah, Wildan harus melalui sekitar 4 km perjalanan kaki dengan membawa keranjang kue seberat 20 kg. Sungguh pekerjaan yang tidak mudah untuk dilakukan bagi anak seumuran Wildan. Sore harinya, Wildan tidak mau berdiam diri di rumah, dia langsung menjadi loper koran di simpang lampu merah di dekat rumahnya. Siapa yang menyangka anak sekecil Wildan ternyata menyimpan harapan untuk membiayai hidupnya sendiri hanya untuk melanjutkan sekolah. Dari hasil itu Wildan mendapatkan 50 ribu perhari keuntungan bersih. Tapi itu belumlah cukup untuk membiayai uang masuk sekolah sebesar 5 juta. Sedangkan waktu pembayaran tinggal 2 bulan lagi.
Wildan pun memutar otaknya, sempat terpikir dia akan meminta bantuan uang neneknya Suriati, tapi Wildan kelihatannya tidak tega melihat neneknya yang tua renta masih harus memikul tanggung jawab untuk membiayai studi Wildan. Padahal Suriati pun tahu bahwa cucu kesayangannya ini sedang mengalami masalah yang tidak sepele. Tapi Suriati pun tidak bisa berbuat banyak karena dia juga tidak mempunyai simpanan uang yang begitu besar. Sisa tabungan Suriati telah habis dipakai untuk membiayai semua pendidikan SD Wildan.
Tiga hari lamanya, Wildan berpikir keras untuk bagaimana caranya mencari uang sebesar 5 juta dalam waktu 2 bulan saja. Uang 50 ribu perhari yang dia dapat itu, belumnya cukup jika dipotong untuk biaya makan sehari-hari dia. Akhirnya mendapat ide untuk bekerja menjadi pramuniaga di toko Pak Somat yang masih merupakan Saudara dari Heru. Biarpun masih keluarga Heru, Pak Somat tidak begitu saja menerima Wildan sebagai pegawainya. Banyak sekali persyaratan yang harus dilakukan Wildan yakni harus lulus ujian sebagai orang jujur dan tepat waktu.
Butuh waktu sekitar 1 bulan bagi Wildan untuk mendapatkan kepercayaan Pak Somat. Lama-kelamaan, pak Somat pun mulai tertarik dengan kepribadian Wildan yang keras, jujur dan lurus. Banyak hal yang selalu dipercayakan Pak Somat kepada Wildan seperti menagih hutang kepada setiap pelanggan, menjadi kasir sementara dan mengambil barang dalam jumlah yang besar ke agen penyalur. Hari demi hari, tak terasa uang yang diperoleh Wildan sudah mencukupi untuk membiayai biaya masuk sekolahnya. Wildan pun dengan perasaan berbunga-bunga menghitung penghasilannya itu.
Akhirnya Wildan bisa masuk ke SMP dengan mulus. Maka dimulailah waktu masuk sekolah hari pertama dimana Heru, Peter dan Wildan masih tetap bersama-sama dalam satu sekolah. Sepertinya hubungan persahabatan mereka dari hari ke hari semakin kental dan kuat. Kemana saja ada Heru, di situ pasti ada Wildan dan Peter dan begitu pula sebaliknya. Sehingga jika orang ingin mencari Wildan, maka tidak salah jika mereka mencari Heru atau Peter dahulu. Di sekolah, mereka sempat dijuluki tiga sekawan.
Ternyata perjalanan Wildan dalam memulai sekolah tidaklah semulus kawan-kawannya. Banyak hal yang dihadapi Wildan terutama masalah keuangan untuk memenuhi kebutuhan perlengkapan sekolah seperti buku pelajaran, baju seragam, sepatu dan lain-lain. Heru dan Peter pun sering membantu banyak dalam hal meminjamkan buku dan seragam sekolah. Sesungguhnya Wildan adalah seorang anak yang penuh daya juang dan tak mudah putus asa. Berbagai cara pun dilakukan oleh Wildan agar bisa tetap bersekolah misalnya dengan sambil tetap bekerja paruh waktu di tempatnya pak Somat. Pak Somat pun tampaknya tidak pernah mempermasalahkan itu. Diam-diam ternyata pak Somat sangat mengagumi Wildan seakan-akan melihat balik sosok dirinya pada waktu masih muda bahkan sudah menganggap Wildan seperti anak sendiri.
Hari demi hari berlalu tak terasa tanggal kelulusan sudah semakin dekat, pada waktu menjelang kelulusan ternyata Wildan harus mendengarkan berita buruk yang selama ini tidak pernah dia sangka-sangka. Neneknya mengalami sakit jantung parah sehingga harus dirawat di rumah sakit. Untunglah ada Pak Somat, Heru dan Peter yang membantu biaya pengobatan Suriati. Tapi itu juga tidak banyak menolong karena memang sakit jantung yang diderita Suriati sudah kronis. Alhasil sampainya suatu hari Wildan harus menghadapi ini. Pada waktu pagi sampai sekolah, Wildan ditelepon dari pihak rumah sakit bahwa neneknya sudah kritis. Mendengar itu pun, Wildan sambil meneteskan air mata berlari mengikuti selasar sekolah dan bergegas menuju rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, banyak hal yang ada di pikiran Wildan. “Kenapa Tuhan memberi cobaan seberat ini ?” Kenapa di saat kelulusan seperti ini saya harus menerima ujian hidup terberat ini ? “ Wildan masih ingat semua pesan-pesan neneknya untuk tetap bersekolah walau apapun yang terjadi, untuk tetap menjadi orang yang berguna dan baik hati. Sampai di depan pintu kamar perawatan rumah sakit, Wildan dengan perasaan bercampur baur mulai membuka pintu itu dan melangkah masuk. Terlihatlah seorang nenek yang dengan kondisi tidak sadarkan diri dan wajah pucat pasi terbaring kaku dengan alat monitor di samping tempat tidurnya. Itulah Suriati yang dulu selalu terlihat ceria tetapi sekarang terbaring terbujur bak seorang pesakitan parah. Sesegukanlah Wildan sambil berlutut di samping tempat tidur neneknya sambil mencium dan memegang erat satu-satunya sisa keluarga Wildan yang masih tertinggal. Seakan-akan tidak percaya bahwa orang yang paling dia sayang sekarang sudah sekarat. Wildan sempat membisikkan kata-kata lewat telinga Suriati, “ Nek, jangan tinggalkan Wildan, Nenek kan sudah janji tidak boleh meninggalkan Wildan”..Berulang kali Wildan membisikkan hal itu ke telinga neneknya. Muncullah keajaiban kuasa Tuhan, neneknya yang sudah koma pun masih tetap memberikan respon berupa tetesan air mata jatuh di sebelah matanya. Wildan pun semakin tak kuat melihat hal itu. Tangisan Wildan tampaknya sulit untuk dibendung walaupun dari kesehariannya, Wildan adalah seorang anak yang tidak mudah meneteskan air mata tetapi kali ini adalah hal yang beda.
Tepat pada jam 12 tengah malam, tampaknya keadaan Suriati semakin parah, pernapasannya kelihatan semakin sulit. Wildan pun langsung berinisiatif memanggil bantuan dokter dan paramedis. Di saat itu pula, air mata Wildan tampak semakin deras mengucur lewat pipinya, seakan tidak mau jauh dari tempat neneknya. Dokter dan paramedis pun sudah sekuat tenaga memberikan pertolongan tetapi tampaknya Tuhan berkata lain, Suriati akhirnya menghembuskan napas terakhir dengan tenang. Wildan yang mengetahui berita itu langsung tak kuasa memeluk tubuh Suriati yang terbujur tidak berdaya itu. Sampai setengah jam, Wildan tetap tak bisa melepaskan pelukannya.
Mendengar berita buruk itu, Heru dan Peter langsung bergegas menuju rumah sakit dan langsung berusaha menghibur Wildan. Memang kehadiran mereka berdua sangatlah membantu keadaan Wildan. Ketika dibawa ke rumah kediaman pun, Wildan masih tetap tak kuasa menahan tetesan air matanya. Keesokan harinya pemakaman pun dilaksanakan dengan sederhana, untunglah banyak tetangga yang membantu proses dan biaya pemakaman Suriati. Pada proses pemakaman pun Wildan tetap merasa dunia ini telah berbeda dan dia tidak pernah menyangka bahwa Suriati akan pergi secepat ini. Setelah pemakaman pun, Wildan tetap masih memeluk pusara neneknya selama hampir 2 jam. Heru dan Peter yang melihat itu berusaha membujuk Wildan dan mengatakan “ Wil, kamu harus kuat, nenek mu itu dulu adalah orang yang kuat dan beliau telah berpesan kamu harus bisa kuat” “Nenek mu pasti akan sedih jika melihat kamu begini terus”. Kata-kata itu tampaknya langsung menghentak hati Wildan untuk segera bangkit dan tidak perlu bersedih berlarut-larut lagi.
Satu minggu setelah kejadian itu, Wildan tampaknya masih saja teringat dengan neneknya. Maklum saja, Suriati lah yang mengasuh Wildan dari kecil sampai sekarang. Suriati lah yang membentuk pribadi kuat Wildan dan Suriati lah satu-satunya keluarga Wildan yang tersisa.
Tidak lama berselang, pengumuman kelulusan pun tiba. Heru, Peter dan Wildan pun dinyatakan lulus ujian nasional dan Wildan ternyata meraih nilai tertinggi di sekolahnya. Memang kemampuan Wildan dalam segi akademis sungguh tidak diragukan lagi. Heru dan Peter tampaknya tidak terlalu terkejut dengan berita baik itu. Wildan pun merasa sangat bersyukur sekali, ternyata di balik musibah yang menimpa dia, masih ada secercah harapan berita baik yang dia peroleh.
Singkat cerita setelah masuk SMA dan Perguruan tinggi, Wildan yang mengambil jurusan sastra menjadi seorang pemuda tampan di seantero kampusnya. Banyak hal yang berubah dari Wildan. Ternyata Peter dan Heru pun tetap bersama-sama di satu kampus tetapi dalam jurusan yang berbeda. Heru masuk ke jurusan teknik informatika dan Peter ke jurusan psikologi.
Banyak alasan Wildan kenapa mengambil jurusan sastra, selain karena Wildan suka membuat puisi dan bersajak ria, ternyata Wildan suka menulis. Banyak artikel di majalah dan koran setempat yang telah memuat tulisan singkat Wildan. Bahkan Wildan didaulat menjadi penulis kolom tetap di salah satu harian lokal pada saat kelas 3 SMA. Itu sungguh merupakan prestasi yang luar biasa. Makanya tidak mengherankan Wildan mengambil jurusan sastra sewaktu kuliah.
Pada waktu masuk kampus inilah, Wildan akan mengalami cobaan yang lebih berat dibandingkan kecelakaan sewaktu kecil dan kematian Suriati. Di saat kuliah, Wildan mulai merasakan bumbu-bumbu cinta di dalam hidupnya untuk pertama kali. Sebenarnya ini adalah perasaan yang telat bila dibandingkan anak muda zaman sekarang yang sering sudah berpacaran waktu masih di bangku SMP. Adalah Anita seorang cewek sederhana di jurusan yang sama dengan Wildan yang sempat mencuri hati Wildan.
Ternyata perjuangan Wildan untuk mendekati Anita sungguh sangat berliku. Hal ini dikarenakan Anita sempat mengalami trauma dengan laki-laki sewaktu pacaran semasa SMA. Pada awalnya Anita sungguh sangat cuek dengan segala perhatian dan sikap Wildan. Bahkan Anita sempat membenci Wildan dikarenakan Wildan sering memberi perhatian dan datang bertamu ke rumah Anita. Tapi dasar Wildan yang tidak mudah putus asa. Wildan menyadari bahwa Anita adalah sosok cewek paling sempurna yang pernah dia kenal. Memang Anita tumbuh menjadi cewek yang manis, berkulit putih, tinggi dengan perangai keibuan. Semua cowok di kampus Wildan pasti akan bermimpi untuk mendapatkan hati Anita. Sempat suatu kali, Anita yang tidak tahan dengan kunjungan Wildan ke rumahnya, Menyuruh papanya pak Ananto untuk mengusir Wildan. Sebenarnya pak Ananto bukanlah orang yang tega berbuat begitu. Beliau sangat mengerti dengan perasaan dan usaha Wildan. Di dalam hati kecilnya pun diam-diam pak Ananto mengagumi sosok Wildan yang mandiri, baik hati dan hormat sama orang tua. Tetapi dikarenakan kemauan dari Anita sendiri, maka pak Ananto tidak bisa memaksakan kehendaknya. Pak Ananto pun dengan kata-kata lembut berusaha untuk membujuk Wildan supaya pulang saja dan memberitahukan bahwa Anita tidak mau menemui Wildan lagi. Wildan pun bertanya-tanya di dalam hati, ada apakah gerangan ?
Dengan langkah lunglai, Wildan pun terpaksa pulang dengan perasaan gundah. Dasar Wildan adalah orang yang tidak mudah menyerah dan tetap dengan diam-diam berusaha mendapatkan cintanya Anita. Pada suatu hari yang naas, Wildan berjalan di sebuah taman di dekat kampus, tampaknya saat itu Anita sedang berolahraga pagi sendirian. Tiba-tiba Anita diganggu oleh 3 orang anak muda, Wildan yang melihat kejadian itu langsung mencoba menghentikan perbuatan itu. Tapi dikarenakan mereka membawa senjata tajam maka Wildan memberanikan diri melawan dengan tangan kosong. Ternyata Wildan dengan ilmu beladiri yang dipunyai berhasil menaklukkan 3 orang pria itu. Tapi dengan tipu muslihat, salah satu orang berhasil menusukkan pisau di perut Wildan. Seketika itu Wildan langsung roboh dan sialnya lagi Wildan jatuh di tempat yang salah yakni di dekat bebatuan tajam, seketika itu kepala Wildan juga mengalami luka benturan yang keras. Melihat Wildan yang tiba-tiba tidak sadarkan diri, maka 3 orang pria itu langsung kabur dan Anita pun tampak tak percaya dengan kejadian yang baru terjadi. Dalam hati, sungguh dia tidak percaya, seorang Wildan berani mempertaruhkan nyawanya untuk menolong orang yang telah memperlakukan dirinya dengan tidak pantas.
Anita pun langsung meminta pertolongan dan Wildan pun langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat, ternyata rumah sakit inilah yang menjadi tempat Wildan dirawat sewaktu masih kecil setelah kecelakaan yang dulu menimpanya. Dalam keadaan berlumuran darah, Anita tetap menemani Wildan sampai di rumah sakit sambil berusaha tetap memanggil-manggil Wildan supaya segera sadar. Ternyata kondisi perut Wildan tidaklah begitu parah, tetapi ada benturan di kepalanya yang akan membuatnya kehilangan penglihatan untuk sementara waktu atau seterusnya. Mendengar hal itu, Anita, Heru dan Peter tampaknya semakin bersedih. Anita yang dulu tidak peduli dengan Wildan tiba-tiba meneteskan air mata demi Wildan. Di dalam hati Anita berkata “ Gara-gara saya, Wildan menjadi buta, semua gara-gara saya”.
Dalam tahap perawatan, ternyata Anitalah yang selalu menemani Wildan. Dalam keadaan buta pun Wildan sungguh merasa bahagia ternyata ditemani oleh perempuan yang sangat dia cintai. Lama-kelamaan ternyata tumbuhlah benih-benih cinta di hati Anita. Wildan pun tampaknya bisa mengetahui itu. Setelah sampai di rumah pun, Wildan masih tetap ditemani Anita, sehingga dia sempat mengutarakan ingin serius membina hubungan dengan Anita. Seketika itu Anita langsung memeluk Wildan.
Dengan keadaan buta seperti itu, otomatis kuliah Wildan menjadi terputus. Setiap hari Wildan sempat merasakan sedih yang luar biasa tentang kebutaan yang dialaminya. “ Kenapa saya harus menjadi buta di saat begini” ujar Wildan di dalam hati. Untunglah ada Anita yang selalu menghibur Wildan. Anita lah yang memberi usulan ke Wildan supaya meneruskan hobi menulisnya dengan menjadi Novel. Hari demi hari dengan bantuan Anita, Heru dan Peter, Wildan berhasil menyelesaikan sebuah novel menarik. Tentunya semua itu dengan bantuan Anita. Wildan yang menceritakan dan Anita yang seraya menuliskan.
Ada sebuah penerbit yang tertarik dengan karya tulisan novel Wildan yang sungguh berbeda dari yang lain. Akhirnya Wildan pun bisa menyaksikan bukunya diterbitkan secara resmi pada umur 25 tahun. Tak lama berselang Wildan dan Anita pun berakhir bahagia dengan menikah hari Valentine pada tahun yang sama. Sungguh merupakan kisah perjuangan hidup dan cinta yang mengharukan. “ tamat”